Sekilas
Kisah Perjalanan Bisnis Anak Pedagang Majalengka
Add caption |
JAKARTA,
KOMPAS.com —
Sosok William Soeryadjaya, pendiri PT Astra International Inc (sejak tahun
1990, Tbk), yang meninggal dunia hari Jumat (2/4/2010) dikenal sebagai
pengusaha yang ulet.
Add caption |
Bagaimanakah kisah perjalanan bisnis taipan ulung anak pedagang Majalengka yang bernama Asli Tjia Kian Liong itu? Bisnis yang dilakoni pria kelahiran Majalengka, Jawa Barat, 20 Desember 1922, itu sesungguhnya diawali dengan penuh pahit dan getir.
William telah menjadi yatim piatu pada usia 12 tahun. Menginjak usia 19 tahun, sekolahnya di MULO, Cirebon, putus di tengah jalan. Ia kemudian banting setir menjadi pedagang kertas di Cirebon.
Selain
berdagang kertas, William muda juga berdagang benang tenun di Majalaya.
Tak begitu lama, ia beralih menjadi pedagang hasil bumi, seperti
minyak kacang, beras, dan gula. "Dengan berdagang, saya dapat
membantu kehidupan saudara-saudara saya," ujar anak kedua dari lima
bersaudara keluarga pedagang ini, suatu ketika.
Dari
perolehan hasil berdagang itu, William muda lalu melanjutkan
studinya ke Belanda, dengan masuk ke Middlebare Vakschool V/d Leder
& Schoen Industrie Waalwijk, sekolah industri yang mengajarkan
penyamakan kulit. Begitu kembali ke Tanah Air tahun 1949, William
mendirikan industri penyamakan kulit, yang kepengurusannya dia serahkan kepada
seorang kawannya. Tiga tahun kemudian, William mendirikan CV Sanggabuana,
bergerak di bidang perdagangan dan ekspor-impor. Cuma cilakanya, dalam
menggeluti bisnis ini, ia ditipu rekannya. "Saya rugi jutaan DM,"
ujar William.
Lima tahun kemudian, atau
tepatnya tahun 1957, bersama Drs Tjia Kian Tie, adiknya, dan Lim Peng
Hong, kawannya, William mendirikan PT Astra International Inc. Bisnis
perusahaan barunya ini pada mulanya hanya bergerak dalam pemasaran minuman
ringan merek Prem Club, lalu ditambah dengan mengekspor hasil bumi. Dalam
perkembangan berikutnya, lahan garapan usaha astra meluas ke sektor
otomotif, peralatan berat, peralatan kantor, perkayuan, dan sebagainya.
Astra tumbuh bak "pohon rindang", seperti yang ditamsilkan William
sendiri.Keberhasilan Astra ketika itu, diakui William, tidak terlepas berkat ada kebijaksanaan Pemerintah Orde Baru, yang memberi angin sejuk kepada dunia usaha untuk berkembang. Salah satu contohnya tahun 1968-1969, Astra diperkenankan memasok 800 kendaraan truk merek Chevrolet. Kebetulan, saat itu pemerintah sedang mengadakan program rehabilitasi besar-besaran. Saking banyaknya yang membutuhkan, kendaraan truk itu laris bak pisang goreng. Apalagi, ketika itu terjadi kenaikan kurs dollar, dari Rp 141 menjadi Rp 378
per dollar AS.
"Bisa dibayangkan berapa keuntungan kami," ujar Oom Willem, panggilan akrabnya, kala itu. Sejak itu pula Astra kerap ditunjuk sebagai rekanan pemerintah dalam menyediakan berbagai sarana pembangunan.
Dalam perjalanan selanjutnya, Astra tak hanya sebatas memasok, tetapi juga mulai merakit sendiri truk Chevrolet. Lalu, mengageni dan merakit alat besar, Komatsu, mobil Toyota, dan Daihatsu, sepeda motor Honda, dan mesin fotokopi Xerox. Yang berikutnya pula, akhirnya lahan usaha yang baru ini menjadi "mesin uang" dari PT Astra International Inc.
Masih ada satu bisnis Astra yang lain, yaitu agrobisnis. Astra yang omzetnya pada tahun 1984 mencapai 1,5 miliar dollar AS masuk ke agrobisnis dengan membuka kawasan pertanian kelapa dan casava seluas 15.000 hektar di Lampung. Namun, bukanya tanpa alasan Astra masuk ke sektor agrobisnis. "Agrobisnis yang mengusahakan peningkatan produksi pada sektor pertanian itu merupakan gagasan pemerintah yang patut ditanggapi berbagai kalangan wirausahawan Indonesia," kata William dalam ceramahnya di Universitas Katholik Parahyangan tahun 1984.
Pada tahun itu juga Astra membeli Summa Handelsbank Ag, Deulsdorf, Jerman. Pengelolaan bank yang tak ada kaitannya dengan bisnis Astra ini diserahkan kepada putra tertuanya, Edward Soeryadjaya, sarjana ekonomi lulusan Jerman Barat.
Di bank ini William mengantongi 60 persen saham yang dibagi rata dengan Edward. Cuma, sayangnya, Edward kurang berhati-hati dalam menjalankan roda usaha perbankan itu. Edward terlalu royal dalam mengumbar kredit. Akibatnya, tahun 1992 bank ini dilanda utang yang begitu besar dan untuk melunasinya, terpaksa William melepas kepemilikannya di Astra.
Namun,
yang patut dipuji dari sikap William semasa kejayaannya di Astra adalah
kepeduliannya terhadap rekannya, pengusaha kecil. Dalam suatu
tulisannya di harian Suara
Karya, "Peranan Pengusaha Besar Dalam Kerja
Sama dengan Pengusaha Kecil demi Suksesnya Pelita IV",
mengetengahkan bentuk-bentuk kerja sama antara yang besar dan yang
kecil. Misalnya, menjadikan perusahaan besar sebagai
market dari perusahaan kecil dalam bentuk leadership dan
menjadi perusahaan kecil sebagai bagian dari service network produk perusahaan besar.
Sikapnya
yang lain, yang juga
patut ditiru, adalah kepeduliannya terhadap dunia
pendidikan. William merelakan tanahnya di
Cilandak, Jakarta Selatan, terjual dengan harga
"miring" bagi pembangunan gedung Institut Prasetya
Mulya, lembaga pendidikan yang dimaksudkan mencetak tenaga-tenaga manajer
yang andal. Sejumlah konglomerat juga ikut membidani lembaga. William
sendiri kala itu duduk sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina.Sikap religiusnya pun merupakan salah satu contoh yang baik dalam menjalankan roda usahanya. Penganut Protestan yang teguh ini percaya betul bahwa keberhasilan yang diperolehnya , selain kerja kerasnya bersama semua karyawan, juga berkat rahmat dari Tuhan, bukan semata dari dirinya.
Kesimpulannya
Semangatnya dalam menempuh bisnis pun patut dijadikan panutan. Kalau ia terjegal dalam kancah bisnis, itu bukanlah akhir dari perjalanan bisnisnya, melainkan justru awal dari kebangkitannya.
Sumber : Info Bisnis, Pusat Informasi Kompas (http://bisniskeuangan.kompas.com)
Source : http://info-biografi.blogspot.com/
William Soeryadjaya (Pendiri PT Astra Internasional)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar